Pasang Listing biaya Rp.0 alias Gratis
author
Call Us: +628581194219

Pembangunan Rumah Rakyat dan Permukiman yang Berpusat pada Masyarakat

  • Admin oleh Admin
  • 8 tahun lalu
  • Tak Berkategori
  • 0

Pembangunan Rumah Rakyat  dan  Permukiman yang Berpusat pada Masyarakat : Berkolaborasi menjadi Merakyat

Rumah  rakyat: tantangan yang   besar yang berdimensi sejarah. Dari sisi jumlahnya saja misalnya, backlog rumah sudah  mencapai 13,5 juta unit (secara konsep kepemilikan, data Kemenpupera tahun 2014). Sisi positifnya, ini artinya juga potensi besar untuk menyatukan semua daya yang ada.

Menariknya,  di Indonesia. Hampir 70% rumah yang ada dibangun sendiri oleh masyarakat, yang  juga sering disebut ‘rumah swadaya’ (Data Kemenpupera 2014, Renstra PUPR 2015-2019).  Masyarakatlah yang selama ini menjadi pelaku utama dalam membangun rumah di kota – kota di Indonesia. Baru sisanya yang 30% rumah masuk kategori  ‘formal’ :  dibangun oleh  pengembang swasta atau oleh pemerintah, termasuk melalui BUMN nya.  Inilah karakter pembangunan rumah yang membedakan kita di Indonesia dengan negara lain di Asia yang sudah mencetak cerita sukses di bidang perumahan rakyat, seperti Singapura dan Hong Kong.

Terbaca ada semacam ‘hasrat menyala’ untuk membalikkan pendulum dari kondisi yang ada sekarang:  untuk menjadikan pengembang  besar ada di terdepan dalam pembangunan perumahan rakyat , apa dengan begitu nilai tambahnya akan banyak berubah? Akankah  menjadikan kondisi  perumahan rakyat ke depan menjadi  lebih baik?

Pembangunan Rumah dan Permukiman Berpusat pada Masyarakat : tentang Apa

Dengan kondisi demikian:  rumah yang dibangun swadaya oleh masyarakat nyatanya  adalah ‘arus utama’. Dan biarkanlah seperti itu. Memaksakan statusnya menjadi formal, sebagaimana desakan lembaga internasional seperti WordBank, hanya akan membuat keluarga miskin semakin terlempar ke pinggir. Membuat aktivitas ekonominya bahkan lebih tergencet, jauh dari sumber pendapatannya.

Dus, menjadi logis untuk mengembangkan pola pembangunan rumah yang berpusat pada masyarakat. Pendekatan  yang menitikberatkan  pada manusianya, untuk menjadikannya  pelaku yang mandiri dan bermartabat. Kebijakan yang menguatkan kapasitas masyarakat  sebagai agen  pembangunan dalam menuntaskan kerja besar ini. Program yang fokusnya memberdayakan, baik   kelompok masyarakat maupun UMKM yang berpotensi sebagai pelaku pembangunan rumah.

(Baca juga : 5 Kriteria Apartemen Murah Ideal untuk Bujet Terbatas)

Sayangnya , ini belum banyak tercermin dalam produk kebijakan formal. Kebijakan yang mendukung pembangunan  rumah swadaya belum menjadi hidangan utama di pola kerja birokrasi pemerintahan. Sampai tahun 2019  pembangunan baru swadaya ditargetkan sebesar 250,000 unit. Sementara untuk KPR swadaya mencapai 450, 000 unit, di level nasional.

Rumah  Rakyat yang Inklusif: Apa Perlunya

Yang  ingin dituju  adalah  pola pembangunan  rumah yang bisa jadi solusi,  inklusif,  lestari bisa  memberi manfaat jangka panjang.

Seperti halnya tanah, rumah tidak bisa semata  diartikan sebagai barang ekonomi. Tak bisa dianggap sebagai komoditi jual beli semata bagi akumulasi modal finansial . Sebab sejatinya rumah adalah juga barang kesejahteraan (welfare goods). Karenanya,  pembangunan rumah adalah tentang pemenuhan hak dasar.  Bahkan dalam Kongres 2009 dinyatakan bahwa perumahan merupakan hak asasi manusia, bukan lagi sekedar “hak bertempat tinggal”. Merujuk ke Abidin Kusno (2012), juga memperkuat bahwa kini negara dan pengembang (developer) bukan lagi penguasa ruang seperti di zaman Orde Baru Suharto.

Ketimbang melulu tentang produk fisik yang final, kebijakan pembangunan rumah perlu seimbang  antara produk degan proses, dan bagaimana menempatkan manusia di posisi sentral dalam pembangunan rumah. Ada deretan  pekerjaan besar bagi  kemajuan  sosial, kultural dan lingkungan hidup yang melekat pada perumahan rakyat, yang tentunya ini tak kalah pentingnya.

Agenda pembangunan rumah rakyat terlalu penting untuk begitu saja diserahkan pada mekanisme pasar. Intervensi pembangunan rumah selama ini terbukti   pengembang-sentris. Dus, menjadi produktif tidak selalu berarti bagaimana  mengkilapkan  angka profit di balance sheet pemain besar properti. Produktif lebih berarti   seberapa luas ‘platform’  yang bisa diciptakan, agar elemen masyarakat dan UMKM mendapat  porsi lebih besar , lebih banyak kesempatan berkarya membangun rumah. Singkatnya, membangun  daya ungkit ke sebanyak mungkin  pelaku aktif  agar kebijakan membangun perumahan rakyat bisa high impact.

Pembangunan rumah juga perlu diupayakan untuk  menjadi perangkat yang bisa menggenjot produktivitas masyarakat lokal. Karenanya kebijakan  pembangunan yang inklusif, juga berarti mengundang semua, tidak hanya pelaku besar, untuk menjadi produktif. Artinya  lebih banyak pekerja lokal yang direkrut, lebih banyak pelatihan bangunan yang diselenggarakan. Lebih banyak keluarga yang mendapat manfaat, secara ekonomi, sosial dan kelembagaan.

Diperlukan kebijakan pembangunan rumah yang nilai tambahnya  bisa dinikmati oleh masyarakat secara keseluruhan, termasuk  Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan kelompok  yang ada di dasar piramid. Serta bagaimana membangun ini diatas karakter positif dari sektor informal. Ini  bisa dilakukan melalui pola pola yang mengintegrasikan,  kerja kerja berbasis luas. Yang  digerakkan  dari mosaik potensi masyarakat yang beragam, yang diusung beramai. Melalui erja kerja kolaborasi yang sehat.

Bagaimana ke sana : Institusi dan Perangkat Berkolaborasi

Selain dukungan kebijakan yang belum memadai, dan  koordinasi lintas lembaga terkait  yang belum  optimal,  kelompok masyarakat dan UMKM  yang kondisinya masih berserak, seperti terfragmentasi masih menjadi permasalahan utama. Padahal mereka  sebenarnya memiliki potensi menjadi pelaku pembangun rumah.

Yang juga perlu dicermati, keengganan bekerja sama seperti menjadi gejala sosial di tengah  masyarakat di kota besar termasuk Jakarta. Ada semacam tekanan kompetisi ekonomi yang membudaya, yang membuat warga di kota besar tidak mudah untuk membangun rasa saling percaya  diantara sesamanya. Ini menjadi kendala dalam membangun jejaring kerja yang efektif.

Inilah yang harus dipecahkan. Untuk menuntaskan PR besar ini, tak ada cara lain kecuali membangun kolaborasi. Ini penting agar diantara  mereka bisa saling berbagi pengalaman. Memastikan pengetahuan, kemampuan dan praktek terbaik dimiliki oleh semua pemangku kepentingan untuk  berkembang bersama, menjadi produktif dalam kerangka kerja self-help.

( Baca juga : Gejolak Ekonomi  Di Ambang Pintu ?  Menggali  Peluang )

Dinyakini bahwa struktur pelaku pembangunan rumah yang sehat adalah yang kuat di tengah. Inilah faktor kritisnya.  Pada prinsipnya,  yang perlu dilakukan adalah membuat pelaku pembangunan yang sudah ada di tengah – yakni kelompok masyarakat berpotensi dan UMKM- agar memiliki kapasitas untuk menjadi lebih maju, punya keyakinan pada harmoni sosial  dan sense lingkungan yang tinggi. Sementara sekuat mungkin memobilisasi mereka yang ada di dasar piramid, untuk bisa terungkit, naik ke struktur di tengah. Bergegas, dengan bekal yang cukup, untuk mengisi ruang di tengah.

Ini dilakukan  melalui proses pemberdayaan dan pendampingan bagi pemanfataan sumberdaya yang lebih tepat sasaran.  Menguatkan  itikad para stakeholder terkait , agar masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok marjinal bisa menaiki anak tangga pertama mereka menuju pertumbuhan yang berkelanjutan. Menjadikan  pelibatan yang intensif dan  kolaborasi sebagai dasar pijakan  bagi penyelenggaraan rumah rakyat, demi mewujudnya perumahan rakyat yang lestari.

Dukungan pemerintah tentu tak bisa dikesampingkan, baik sebagai regulator maupun fasilitator. Itikad pemerintah juga menjadi faktor penentu. Pemerintah bisa berinisiatif menguatkan kapasitas BLU nya  misalnya,  agar kebutuhan tanah yang diperlukan bagi rumah MBR bisa dibuat ‘off the market’. Juga bisa berperan memperbaiki sistem delivery nya agar lebih tepat sasaan, manjaga stok rumah MBR tetap stabil dan tidak dijadikan komoditi spekulasi.

Dus, menjadi  penting terselenggaranya lembaga pro-people  yang berkompeten. Yang berfokus  pada peningkatan kapasitas masyarakat, sebagai bagian dari proses pembangunan self-help  serta mampu menjaga tenun sosial dan finansial di area hunian tersebut.  Institusi yang bisa membangun skema penataan kolaboratif. Membantu masyarakat untuk  tidak saja  mengidentifikasi potensi , tetapi juga meningkatkan serta mengembangkan kemampuan dan ketrampilannya. Penting juga untuk  untuk meningkatkan  status kelompok target  menjadi lebih berdaya dan mandiri. Ini bisa dilakukan antara lain dengan membentuk ‘Bale Daya’ di setiap Kabupaten- Kota,  sebagai leading actor dalam pembangunan rumah rakyat

Kita memerlukan perangkat yang bisa memenuhi kebutuhan mereka untuk berkolaborasi, memberikan daya ungkit untuk  mencapai tujuan bersama. Instrumen yang tidak saja bisa memetakan profil dan potensi para pelaku pembangunan  rumah, namun juga bisa menghubungkan dengan sumberdaya kunci yang diperlukan. Untuk kemudian ditemukan pola kerjanya agar untuk berkolaborasi dengan produktif

Diperlukan platform yang berfungsi sebagai pusat pelayanan informasi  yang terpadu. Sebagai  pusat kegiatan pendampingan, perumusan Community Action Planning serta aktivitas chanelling misalnya.

Lembaga ini bisa ikut memberikan sumbangsih agar dampak riil dari pembangunan perumahan  berupa  manfaat investasi, hasil  program, lapangan pekerjaan, harga rumah yang makin murah, bisa lebih banyak dirasakan oleh masyarakat kebanyakan, oleh khalayak. Selain tentu saja dampak fiskal berupa pajak, serta perbankan.

 

Jakarta, April 2017

  • Romi Romadhoni, MDP

 He is an urban planner and sociopreneur, and can be reached at m.romadhoni@gmail.com and twitter : @romi_mr 

 

 

Bergabunglah dengan Diskusi

Compare listings

Membandingkan