Perumahan dan Permukiman yang Inklusif, yang lestari
Perumahan dan Permukiman di Indonesia adalah agenda dan cerita yang tak pernah selesai. Selama ini pembangunan rumah lebih banyak dilihat sebagai kegiatan ekonomi untuk peroleh marjin keuntungan. Lebih dari sekedar tumpukan bata dan tulangan besi, rumah-dalam hal ini perumahan rakyat – sejatinya termasuk kebutuhan dasar. Dus, menjadi tanggung jawab penyelenggara negara untuk memenuhinya.
Telaah Singkat Masalah
Dan fakta yang terjadi berbeda dengan persepsi umum. Secara nasional, dari seluruh rumah yang ada, ternyata 70% nya dibangun oleh masyarakat sendiri, lebih tepatnya masyarakat menengah ke bawah. Masyarakat lah pembangun rumah sebenarnya. Baru kemudian sisanya yang 30% dibangun baik oleh pemerintah dan BUMN,maupun oleh developer. Backlog perumahan masih menjadi isu terbesar di Indonesia yakni sebesar 13,5 juta unit (data Kemenpupera tahun 2014, berdasarkan konsep kepemilikan). Begitu besarnya tantangan dalam membangun rumah murah dan hunian terjangkau, diperlukan ide segar dan pendekatan baru yang lebih inovatif.
(Baca juga : Pembangunan Rumah Rakyat dan Permukiman yang Berpusat pada Masyarakat )
Beberapa hambatan yang lazim ditemui di daerah, umumnya berkait dengan keterbatasan dan makin mahalnya harga tanah. Kecenderungan para pemangku kepentingan menjadikan rumah dan properti semata menjadi komoditi dan produk ekonomi pasar, juga turut memperburuk situasi ini. Ketidak konsistenan kebijakan permukiman dan peraturan lainnya, baik di level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah juga masih sering dijumpai oleh para pelaku pembangunan perumahan.
Masalahnya pembangunan perumahan tidak dilakukan dengan cara berkesinambungan. Program yang dilakukan pemerintah saat ini juga belum inklusif, dalam arti proses delivery– nya masih njomplang, yang disasar masih dominan rumah untuk kalangan menengah atas. Dan terabaikannya pembangunan rumah untuk menengah kebawah. Sementara harga tanah dan rumah terbangun terus meroket, daya beli masyarakatpun makin jauh tertinggal . Di tataran lembaga publik juga bermasalah: selain keterbatasan anggaran di postur APBN/APBD untuk alokasi perumahan rakyat, masih kurangnya produktivitas kelembagaan formal pemerintah termasuk juga sumberdaya SDM nya.
Mencari titik terang : Perumahan yang Inklusif
Untuk mengatasi permasalahan perumahan yang multidimensi dan makin kompleks ini , tidak bisa dengan pola single fighter. Ini pekerjaan yang skalanya sedemikian besar, dus tidak bisa diselesaikan sediri oleh pemerintah dan BUMN nya. Atau semata diserahkan ke swasta. Terpenting adalah bagaimana menggulirkan program pembangunan rumah yang lebih inklusif, dalam arti mengedepankan kerja kerja kolaborasi dan mendorong peran serta masyarakat luas dan UMKM untuk lebih berdaya dan bisa menjadi pelaku aktif pembangun perumahan. Diperlukan program yang secara konsisten membuka akses dan pengetahuan kepada mereka. Akses yang tidak saja berupa permodalan dengan skema yang sehat, namun juga kemampuan membangun jejaring bisnis dan wirearchy sosial serta pembentukan lembaga perumahan baru yang nyata keberpihakannya kepada masyarakat pelaku pembangunan dan UMKM.
(Baca juga : 5 Kriteria Apartemen Murah Ideal untuk Bujet Terbatas)
Selain pemberdayaan yang lebih jitu dan sistematis, jelas diperlukan iklim yang kondusif. Artinya perlu regulasi yang produktif dan kelembagaan yang lebih efisien serta reformasi birokrasi agar mobilisasi sumberdaya bisa lebih kencang lagi. Strategi yang juga perlu digencarkan: skema pendanaan yang inklusif, pemanfaatan teknologi membangun rumah yang tepat guna dan berbasis luas, pemanfaatan material alternatif yang berkualitas, dan inovasi kaitan housing delivery yang menekankan keterlibatan masyarakat.
- Romi Romadhoni, MDP
He is an urban planner and sociopreneur, and can be reached at m.romadhoni@gmail.com and twitter : @romi_mr