Rumah Untuk Generasi Millennial. Alternatif Solusi
Generasi millennial: mereka yang lahir antara tahun 1980 dan 2000. Ciri yang melekat dengan generasi ini ialah kedekatannya dengan teknologi. Selalu menggenggam gawai dan setiap saat terkoneksi dengan internet, mendukung kemampuannya untuk berpikir kreatif dan melakukan hal di luar pakem. Ini yang sering dianggap salah satu sisi positif dari generasi millennial ini.
Generasi millennial berada paling depan dalam memanfaatkan teknologi. Merekalah yang paling berpeluang membangun ekosistem berkreasi yang bergairah. Menguatkan efek jejaring melalui interkoneksi diantara para pengguna platform dalam jumlah besar, dalam skala yang tidak pernah terjadi sebelumnya, sebuah eco-synergy. Dus, peran sebagai ‘game changer’ pun sering disematkan pada generasi ini.
Di sisi lain, gaya hidup yang cenderung hidup boros juga sering dialamatkan ke generasi ini. Banyak menghabiskan waktu hang out bareng, travelling bahkan membelanjakan barang – barang yang sebetulnya tidak menjadi kebutuhannya. Ada baiknya para millennial lebih bisa mengerem ini. Lebih disiplin dan bertanggung jawab adalah sedikit saran yang dialamatkan bagi para millennial untuk memenuhi tujuan keuangannya.
(Baca juga : Di Alam Ketidakpastian. Menapaki Perubahan)
Dengan harga properti yang terus melonjak, yang naik 20% tiap tahunnya. Melesat tak terkejar oleh rerata kenaikan penghasilan yang hanya di 10% pertahun. Harga rumah pun dirasa makin melangit. Dus, kebutuhan membeli rumah menjadi satu masalah yang dihadapi oleh banyak millennial. Untuk yang satu ini, persepsi mereka cenderung pesimis. Beberapa temuan menyebutkan millennial banyak berpenghasilan di kisaran 4 jutaan. Sementara kebanyakan harga rumah di Jakarta sudah diatas 480 juta : hanya 1,76% rumah di Jakarta yang berharga kurang dari 300juta. Di harga 500 jutaan ini artinya hanya bisa diakses oleh mereka yang berpenghasilan lebih dari 12 juta sebulannya. Disebutkan juga pada 2016 ada 16,8% kaum millennial yang mampu membeli rumah di kisaran harga ini, angka ini diprediksi jauh menyusut jadi 2,7% pada 2020.
Rumah Untuk Generasi Millennial, harganya makin meroket, tak terjangkau oleh logistik finansial kelompok millennial. Bagaimana kemudian menyiasatinya? Apa solusi nya agar rumah tetap bisa dijangkau oleh mereka?
Kuatkan Niat Nabung DP
Masalah yang kerapkali dihadapi pekerja baru adalah membayar DP rumah. Para first jobber ini kekurangan dana untuk membayar uang muka rumah, padahal hampir mustahil bagi mereka untuk membeli rumah tanpa melalui kredit bank. Dengan Cicilan DP ini diharapkan bisa bertahap menyelesaikan kewajiban uang muka dalam jangka waktu tertentu. Caranya uang muka dari calon penghuni dicicil ke developer, setelah lunas dan dilakukan verifikasi persyaratan, calon pembeli kemudian bisa lanjutkan cicilan KPR nya ke bank . Skema ini biasanya diinisiasi oleh pengembang, karenanya penting dipastikan bahwa harga rumah telah disepakati sebelumnya, termasuk tenornya. Sisi resikonya, jika pemohon cicilan DP ini ternyata gagal melunasi, uang DP yang telah dicil pun hangus.
Membeli rumah dengan mencicil DP memang membuat total harga rumah jadi lebih mahal, namun jadi lebih dekat dengan tujuan membeli rumah. Juga jadi punya kerangka waktu pembayaran. Dalam hal ini model Reksadana Auto Invest juga bisa banyak membantu: Menyisihkan penghasilan secara otomatis untuk diinvestasikan di instrumen reksadana, gain yang diperoleh kemudian bisa dipakai untuk mencicil DP.
Dan satu lagi, baiknya tabungan disisihkan begitu terima gaji, agar tidak tergoda pemakaiannya untuk hal yang lain.
Ambil KPR dengan Tenor Paling Panjang
Bank menetapkan usia 55 tahun sebagai batasan untuk tidak bisa lagi mencicil kredit, ini kesempatan bagi para pekerja muda. Bagi mereka yang masih berusia bawah 30 tahun, dianjurkan untuk mengambil kredit dengan tenor terlama. Jangka waktu kredit rumah paling lama yang bisa diberikan bank adalah 25 tahun. Pertanyaannya, bukankah dengan tenor yang lama, beban bunga cicilan pun jadi membengkak? Malahan bisa jadi bunga lebih besar dari pokokmya. Yang terjadi harga tanah dan bangunan cenderung naik terus – pengecualian saat krisis Subprime Mortgage di Amerika tahun 2008 – melebihi tingkat kenaikan suku bunga. Ini pada banyak kasus bisa menjawab pertanyaan tadi. Harga tanah dan rumah ikut terkerek termasuk yang berlokasi Jabodetabek misalnya, apalagi di tengah kegiatan pembangunan infrastruktur dan pengembangan sistem transportasi kota dan regional
Beli Apartemen, Mendekat ke Akses Transportasi
Location is King. Sudah menjadi rahasia umum, keluarga kelas menengah di Jakarta menghabiskan sampai 25-30% penghasilannya hanya untuk kebutuhan transportasi. Lalu lintas semrawut yang macet, dengan kapasitas jalan tak sebanding, jauh di belakang tingkat pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor: sebuah pemborosan massal uang , waktu dan energi.
(Baca juga : Pembangunan Rumah Rakyat dan Permukiman yang Berpusat pada Masyarakat : Berkolaborasi menjadi Merakyat)
Rumah dengan harga terjangkau – di kisaran 200 – 300 juta ternyata hanya bisa ditemukan jauh di pinggiran kota, yang sulit akses ke mana – mana. Untuk lokasi yang lebih ke pusat kota, dan relatif dekat dengan jarigan kereta commuter line maupun bus transjakarta, pilihannya jatuh pada hunian vertikal atau apartemen. Dengan jangkauan transportasi yang lebih mudah, bepergian pun bisa dikurangi ongkosnya, sisa uang yang ada bisa dialokasikan untuk mencicil DP rumah misalnya. Apalagi sekarang menjadi trend pembangunan kawasan properti yang kompak dan mixed use yang terintegrasi dengan jaringan transportasi umum, serta membuat nyaman pejalan kaki. Ini yang biasa dikenal dengan Transit Oriented Development (TOD). Perlu dicermati rekam jejak pengembnag , terutama bagaimana pola yang mereka jalin dengan pembeli properti mereka.
Kerja di Perusahaan dengan Insentif KPR
Ini memang sulit, tapi bukan berarti mustahil. Nyatanya memang beberapa perusahaan memberi fasilitas subsidi bunga KPR pada karyawannya, terutama di industri perbankan. Keringanan bunga KPR menjadi bagian dari sistem penilaian dan promosi karyawanya.
Gunakan Pendapatan Ekstra
Ada beberapa sumber pemasukan lain yang lazim digunakan untuk tambahan cicilan rumah. Millennial yang bekerja sebagai karyawan bisa menjadikan uang lembur, bonus, dan THR misalnya sebagai tambahan tabungan bagi cicilan rumahnya. Lagi – lagi perlu disiplin, agar tidak tergoda segera menghabiskannya. THR misalnya, jumlah nya cukup besar dan waktunya bisa direncanakan dengan baik, untuk dialokasikan ke kewajiban pembiayaan rumah Anda.
Rumah Untuk Generasi Millennial. Menarik untuk didalami. Generasi Millennial di jaman ini kesulitan membeli rumah? Bisa jadi ada persepsi semacam itu. Namun nyatanya masih ada banyak jalan yang bisa diupayakan untuk mengakses rumah impiannya.
Jakarta, 13 Agustus 2018, Team RumahDimana.com