Berkaca pada 97-98: Menjelang Krisis, Tidak Ada Lampu Merah yang Menyala.
Mengutip tulisan Prof.Boediono (2016): “tidak ada tanda tanda yang merisaukan atau yang memberi pertanda bahwa krisis yang serius sudah diambang pintu”
Indikatornya saat itu: pada pertengahan tahun 1997 laju tahunan pertumbuhan ekonomi mencapai 7,4% , salah satu yang tertinggi di Asia. Inflasi cenderung menurun, dari laju tahunan 6% di 1996 jadi 5,1% di Juni 1997. Begitupun neraca pembayaran, selama 90-96 ekspor tumbuh rata rata 14% per tahun. namun melambat jadi 3% di pertengahan 1997.Defisit transaksi berjalan yang sebelumnya 2-3% dari PDB, menjelang krisis sedikit melebar menjadi sekitar 4%.
Meski sekarang ini defisit neraca perdagangan (April Juni 2018) sudah menyentuh 3%, kondisi nya tentu jauh berbeda dengan 97-98.
Yang sama sama jadi titik kritis dan penting diperhatikan sepertinya adalah faktor ‘kepanikan’. Kebijakan sistem kurs mengambang yang diberlakukan saat itu, Agustus 1997, ternyata tak juga menciptakan keseimbangan baru. Rupiah meluncur terus melemah tanpa ada tanda tanda untuk menjadi stabil. Baru beberapa bulan kemudian bisa menjadi jelas: ini bukan gejolak pasar biasa, melainkan kepanikan. Pelajarannya: dalam suasana tidak normal (panik) , mekanisme supply -demand untuk mencapai keseimbangan yang baru juga tidak normal. Tantangannya di tengah kebisingan media saat ini, yang justru menyuburkan kontroversi, kepanikan lebih mudah jadi bola liar.
(Baca juga : Asian Games Jakarta Palembang 18.08.18. Apa Artinya bagi Properti )
Korporasi, perbankan dan pelaku ekonomi besar lain bertahun – tahun terbiasa dengan kemudahan mendapatkan pembiayaan luar negeri dalam lingkungan kurs devisa terkendali, yang hampir sepenuhnya bisa diantisipasi oleh mereka, tiba – tiba saja harus menghadapi kekeringan dana luar negeri. Ini mengubah perilaku mejadi spekulatif dan memperparah kondisi pasar devisa. Perilaku panik berburu dollar ini menular ke masyarakat kebanyakan, yang kemudian memicu pelarian modal ke luar secara luas dan tidak terkendali.
Badai krisis itu datang mendadak . Ekonomi Indonesia pada waktu itu (1997) berada pada puncak economic boom. Siapa menyangka tiga bulan lagi Indonesia akan terkena krisis terdalam sejak tiga puluh tahun terakhir. Prof Boediono pun melanjutkan ,” Suatu pelajaran sejarah yang penting bagi kita semua. Krisis bisa datang sewaktu waktu dan kita harus selalu siaga.”
- Romi Romadhoni, MDP
He is an urban planner and sociopreneur, and can be reached at m.romadhoni@gmail.com and twitter : @romi_mr
(Baca juga : Jual Beli Properti yang Dinamis: The Significance of Map)