Rawan Gempa: Tantangan Membangun Ketahanan Masyarakat
Rawan gempa. Belum kering air mata oleh bencana gempa bumi di Lombok, nestapa dengan 564 korban jiwa. Seperti beruntun, kita kembali dikejutkan oleh kabar duka. Gempa di Sulawesi Tengah yang bahkan jauh lebih besar skalanya. Terjadi di Jumat sore 28 September lalu di Donggala, diikuti tsunami yang menghantam Palu yang berciri kota pantai. Kombinasi gempa 7,5 skala Richter dan tsunami setinggi 5,5 meter berkecepatan 100 km per jam di pantai Kota Palu ini disebut BPPT energinya setara 200 kali bom atom Hiroshima.
Bencana seperti melumat segala yang pernah terbangun. Taman – taman kota, bangunan cafe, permukiman dan monumen hilang dari citra satelit. Belum lagi mall, jembatan dan gedung sekolah yang hancur. Menorehkan banyak luka. Anak – anak kehilangan orang tua. Kerabat yang dikasihi tak tentu rimbanya. Empat hari setelah bencana disebut lebih dari 1400 korban jiwa dan 70.000 lebih terpaksa jadi pengungsi di 141 titik lokasi. 65.000 lebih rumah rusak. Luar biasa besar skala kerusakannya. Indonesia kembali menangis.
Wilayah Indonesia ibarat penanda abadi dari zona cincin api yang paling aktif di dunia. Hal Ini mengkonfirmasi fakta bahwa banyak dari kita, dan jutaan anggota masyarakat lainnya, tinggal di daerah rawan gempa. Ini mestinya lebih dari cukup untuk membuat kita berpikir ulang tentang bagaimana cara membangun yang lebih tanggap terhadap resiko gempa. Pentingnya berubah ke model membangun yang lebih adaptif terhadap ancaman gempa yang mengintai setiap saat. Sehingga dampak hilangnya ribuan jiwa bisa ditekan serendah mungkin.
Rawan Gempa: Yang Mesti Dihadapi
Saat gempa terjadi di daerah kepadatan tinggi, tertimpa reruntuhan bangunan tercatat sebagai penyebab utama besarnya korban jiwa. Sejak tahun 1980 terdata sedikitnya 18.300 orang meninggal akibat tertimpa runtuhan bangunan oleh gempa. Yang mestinya disalahkan adalah struktur beton bertulang yang kualitasnya dibawah standar. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam membangun rumah, masih mahalnya material kontsruksi tahan gempa serta peraturan membangun (IMB) berstandar tinggi namun justru belum mengakomodir aspek penting ini. Inilah yang juga ditenggarai memperparah masalah.
Beredar juga berita buoy tsunami yang hilang, akibatnya sistem peringatan dini tidak berfungsi. Padahal seandainya bisa bekerja baik sistem ini bisa sangat membantu menekan jatuhnya korban jiwa. Manajemen bencana luput dilakukan. Dalam hal ini – mengutip Hardoy dan Satterthwaite – pemerintah gagal mengambil langkah preventif di daerah yang diidentifikasi sebagai rawan bencana.
(Baca juga : Di Alam Ketidakpastian. Menapaki Perubahan )
Sapuan tsunami oleh gempa tidak hanya merenggut begitu banyak korban jiwa. Namun juga merontokkan semua sendi ekonomi masyarakat. Aset keluarga dibuat luluh lantak. Bangunan sosial ambruk. Kota lumpuh. Ketahanan masyarakat jatuh ke titik terendah untuk bisa mengatasi dampak bencana, untuk bisa bangkit kembali.
Yang juga menjadi catatan penting, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) lah yang paling terpapar dampak serius gempa. Bagi keluarga tak mampu yang membangun sendiri rumahnya, kehilangan tempat tinggal akibat gempa juga berarti kehilangan hampir semua investasi kapitalnya. Sebab rumah mereka pada umumnya juga jadi ‘rekening bank’ mereka. Jadi sumber utama pendapatan mereka. Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang ringkih semakin terpinggirkan karena kesulitan mengakses upaya tanggap bencana , upaya rehabilitasi maupun rekonstruksi yang dilakukan instansi terkait.
Kejadian gempa dan bencana alam skala besar lainnya bukan tak mungkin memicu arus besar perpindahan penduduk. Ini riil sekaligus tak pernah diantisipasi sebelumnya. Sering terjadi keputusan pindah ini menjadi kepindahan permanen. Keluarga dari kelompok ekonomi terbawah, lagi – lagi, paling rentan di tengah proses relokasi ke tempat baru ini. Kontaknya dengan keluarga, kerabat dan kawan dekat jadi terganggu. Padahal merekalah yang selama ini membantu di saat musibah dan kesusahan ekonomi datang mendera.
Persepsi umum kita : bencana alam adalah pangkal dari krisis. Namun segelap nya malam, dengan sudut pandang berbeda masih mungkin melihat kerlip bintang. Sementara arti krisis di tempat lain bisa mengandung makna yang berbeda. Di China misalnya , krisis merupakan gabungan dua kata: bahaya dan kesempatan. Krisis mencegah kita melakukan apa yang biasa dilakukan berulang – ulang. Membuat lepas dari kungkungan tradisi dan jebakan mudah berpuas diri.
Saatnya Bergerak. Membangun Lebih Baik
Membangun ketahanan masyarakat (community resilience) di daerah rawan gempa tentunya jauh dari rutinitas birokrasi, karena yang diantisipasi adalah resiko bencana yang berdampak luas. Upaya penanganan pasca bencana juga bukan kerja proyek ‘business as usual’, melainkan kental ciri manajemen krisisnya. Diperlukan pola pikir dan kerja yang baru.
Sebelum bencana terjadi. Tantangan terbesarnya ialah menyediakan infrastruktur air bersih yang handal dan masih bisa digunakan saat gempa datang menerjang . Manusia tak akan selamat tanpa pasokan air bersih. Penting juga dibangun Infrastruktur jalan yang bisa segera pulih, untuk truk – truk air segera men-drop air dan – dengan bantuan helikopter – mendistribusikan air ke titik konsentrasi penduduk yang paling terisolasi.
Yang juga penting adalah membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya konstruksi tahan gempa. Tidak harus mahal, yang penting tepat guna. Idealnya dengan struktur baja kombinasi kayu dengan penguatan diagonal misalnya. Namun, kearifan lokal amat bisa membuka kebuntuan. Gempa di Lombok misalnya memberi pelajaran penting, model konstruksi rumah tradisional dengan struktur kayu justru teruji ampuh bisa bertahan. Prinsipnya ialah bagaimana mengatasi gaya horisontal saat tanahnya bergerak, yang bisa merobohkan struktur tulangan beton, apalagi yag dibawah standar.
Untuk infrastruktur fisik yang dibangun: jalan – jalan lokal, sistem air bersih, micro-hydro, sistem pengumpulan sampah, drainase curah hujan, perlu dibuat rencana aksi dan skenario saat betul terjadi bencana. Dipastikan juga agar biaya operasi dan perawatannya bisa teratasi. Biaya pemakaiannya bisa terbayar oleh masyarakat penggunanya, karenanya tarif nya mesti terjangkau dan bisa memberikan perbaikan yang drastis bagi kondisi dan kualitas hidup masyarakat.
Di tengah kota saat tanah kosong semakin sulit dijumpai, perlu dipikirkan model evakuasi vertikal. Menggunakan bangunan vertikal atau permukaan tinggi yang memang berfungsi sebagai titik evakuasi.
Aspek lingkungan hidup juga tak bisa diabaikan, penanaman kembali hutan bakau di pesisir pantai merupakan alternatif jawaban bagi daerah rawan tsunami. Berikutnya memastikan ini tidak dirusak oleh kuasa yang tak bertanggung jawab. Sayangnya , bakau ini seringnya malah dialih fungsi jadi penangkaran ikan atau udang.
(Baca juga : Gejolak Ekonomi Di Ambang Pintu ? Menggali Peluang )
Investasi sumberdaya manusia mutlak untuk mendorong pemahaman masyarakat lebih luas. Antisipasi peringatan dini, pengenalan tanda – tanda tsunami, apa yang harus dilakukan pada menit – menit berharga pertama. Peta evakuasi perlu didistribusikan luas , sering diperbarui. Sehingga masyarakat bisa paham dimana titik evakuasinya, bagaimana rute ke sana.
Satu kunci dari membangun ketahanan ini adalah sekolah. Kampanye persiapan gempa perlu kontinyu dilakukan ke sekolah – sekolah dan tempat keramaian lainnya. Juga dilakukan uji kewaspadaan. Selain sebagai pusat pengetahuan, mengantisipasi bencana dengan kurikulum yang padu, sekolah juga dapat difungsikan sebagai tempat berteduh (shelter) bagi mereka yang terpaksa mengungsi meninggalkan rumahnya.
Selain perlu kepemimpinan yang kuat yang mampu memelihara optimisme, manajemen bencana perlu dibuat lebih terbuka. Open-minded. Mau menerima uluran tangan. Terbuka menerima masukan. Mau mendengar kebutuhan – saat sebelum maupun pasca bencana – dari masyarakat. Dus, bukan sebuah operasi yang terisolasi. Sehingga bisa berujung pada solusi lokal yang tidak saja efektif dalam mengalokasikan sumberdaya penanganan bencana, namun juga holistik , berdampak jangka panjang dan luas implikasinya.
Pasca bencana, upaya rehabilitasi perlu dibarengi dengan investasi sosial. Membangun kembali pelayanan sosial yang porak poranda demi mengurangi penderitaan para korban. Mendirikan pusat krisis untuk menangani dampak tak langsung : upaya pencegahan penyakit kolera , gangguan ISPA dan kulit agar tidak menjadi wabah dan meluas. Juga mendirikan pusat penanganan trauma psikologi bagi anak – anak dan kelompok rentan lainnya.
Proses membangun ketahanan masyarakat perlu fokus pada kebutuhan lokal. Karenanya identifikasi masalah juga sesuai konteks lokal, pun dalam menentukan prioritas. Keterlibatan masyarakat sangatlah urjen. Untuk terus bisa memupuk harapan, menghimpun inisiatif. Masyarakat mesti diperlakukan sebagai mitra penuh, tak sekedar kelompok pasif penikmat bantuan. Pelibatan berarti memandang situasi dari sudut pandang mereka, memakai ‘sepatu’ yang mereka kenakan, dan menjalin komunikasi dan tindakan bersama dengan semua lapisan, tidak hanya mereka yang ada di struktur formal.
Upaya rekonstruksi perlu sinkron dengan usaha bangkitan ekonomi dari puing puing yang ada. Mendorong kegiatan ekonomi yang bersentuhan langsung dengan sendi kehidupan keluarga miskin, menciptakan peluang baru ‘segera petik’ untuk kelompok masyarakat terbawah . Untuk itu, yang juga tak kalah penting, pasca bencana dijadikan momentum untuk menata ulang sistem kepemilikan tanah, yang pro-masyarakat . Warga harus bangkit kembali dan ini perlu disokong oleh bukti penguasaan tanah yang ‘aman’, jadinya warga tidak perlu susah berpindah – pindah. Bukti penguasaan tidak perlu berupa hak milik, cukup untuk mengatasi khawatir akan digusur, sehingga bisa fokus membangun kembali , bata demi bata , usaha ekonomi nya bagi penghasilan.
Pelajaran Berharga
Saat jalan begitu berat ditapaki, itu pertanda kita sedang mendaki keatas. Manajemen bencana yang handal tidak bisa dibangun dalam semalam. Perencanaan tak pernah mudah. Perlu dilakukan dengan seksama , dibuat terpadu dan dijaga keberlanjutannya. Kegentingan tsunami Aceh di 2004 dan banyak rangkaian gempa sesudahnya mestinya jadi bahan pembelajaran yang berharga untuk ditinjau, untuk direplikasi. Disesuaikan dengan konteks tentunya. Diperbaiki SOP dan pola koordinasi antar instansinya, dipetakan kerawanan bencana, dibuat skala prioritas dan skenario tanggap daruratnya. Diharapkan dapat membuat masyarakat lebih bisa beradaptasi terhadap bencana alam yang datang menghadang.
- Romi Romadhoni, MDP
He is an urban planner and sociopreneur, and can be reached at m.romadhoni@gmail.com and twitter : @romi_mr