Pembiayaan Perumahan Model FLPP : Dua Sisi
Kebutuhan akan perumahan rakyat tak lagi sekedar ‘hak bertempat tinggal’, melalui Kongres Nasonal Perumahaan pada 2009 telah dikukuhkan bahwa perumahan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Ini artinya terabaikannya kebutuhan mendasar perumahan serta kondisi tidak layak yang masih dijumpai di banyak wajah permukiman masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan informal, pada dasarnya termasuk pelanggaran hak asasi manusia.
Sumberdaya pendanaan merupakan komponen penting dalam penyediaan perumahan. Ibarat material aspal yang memuluskan jalan bagi pembangunan perumahan rakyat yang bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Program perumahan rakyat yang produktif, memberi solusi dan bisa menjawab permasalahan mendasar. Uang memang bukan segalanya, namun tanpa uang segalanya tidak bisa jalan, begitu kata pepatah Jerman. Tersendatnya pendanaan tidak hanya penghambat mewujudnya produk perumahan yang layak bagi masyarakat luas, namun juga jadi batu penghalang bagi delivery perumahan yang efisien, sesuai kebutuhan, tepat sasaran, dan tentunya berkelanjutan.
Liberalisasi finansial sampai saat ini terus merangsek ke sudut sudut lingkungan global. Didukung deru inovasi sektor finansial melalui teknologi IT, fintech dan Internet of Things. Sumber pembiayaan perumahaan yang sebelumnya didominasi oleh pinjaman bank, saat ini terbuka alternatif sumber lainya, dari pasar sekunder atau pasar modal misalnya.
Belajar dari krisis moneter tahun 1998, juga dari krisis global yang mengikutinya 10 tahun kemudian. Saat itu lembaga perbankan poranda tersapu krisis. Sektor perumahan jadi yang paling pertama terpukul. Saat 1998, krisis moneter segera menjelma menjadi krisis ekonomi yang kemudian terbukti menjerembabkan sektor riil lainnya. Tak tersedia dana cukup untuk menggelar rencana proyek perumahan yang sudah disiapkan, sementara harga material melambung begitu tinggi. Proyek mangkrak, banyak pegawai dirumahkan. Kondisi ini jadi pelajaran mahal dari ketergantugan tinggi pelaku pembangunan terhadap sumber pendanaan dari pinjaman bank.
Dengan 15 juta backlog rumah di tahun 2014. Dan rata- rata pertambahan kebutuhan 700-800ribu unit pertahunnya. Sementara pemerintah hanya bisa membangun kurang dari 300 ribu unit per tahunnya. Gap pemenuhan kebutuhan rumah kian membesar. Perumahan rakyat terus menjadi isu besar di setiap pemerintahan. Perdebatan seputar sumber pendanana perumahan selalu jadi topik hangat antar pemangku kepentingan. Pertanyaan kuncinya: Bagaimana menarik kekuatan pasar global untuk menggerakkan sektor perumahan, yang pada gilirannya ikut menarik gerbong perekonomian nasional.
Masalah Mendasar : Pembiayaan Alternatif bagi Perumahan Rakyat
Yang menjadi masalah selama ini : potensi pendanaan global pasar modal masih banyak yang idle, serta belum terintegrasi dengan sistem pembiayaan perumahaan rakyat, yang mana saat ini semakin mendesak kebutuhannya. Selain itu juga tidak adanya lembaga investasi yang bisa memobilisasi dana jangka panjang dari investor.
Hal ini yang kemudian melatarbelakangi dirumuskannya skema pembiayaan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan)
Apa dan Bagaimana FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan)
Di sinilah kemudian skema FLPP mencoba memecah kebuntuan. FLPP berfungsi sebagai alternatif sumber pembiayaan yang memanfaatkan pasar uang dan saham, menjadi skema pendanaan yang lebih berjangka panjang. Birokrat perumus FLPP ini percaya bahwa kekuatan pasar berpotensi besar menggerakkan perekonomian. Skema ini berupaya mengeksplorasi potensi pasar uang, memetik keuntungan dari sekuritisasi, dan kemudian memobilisasi sumber pendanaan bagi sektor perumahan rakyat.
Nilai tambahnya, pasar perumahan memperoleh injeksi pendanaan berjangka panjang, menjadi mesin pendanaan oleh pasar sekunder. Ini diharapkan dapat menggerakkan pembangunan rumah lebih jauh lagi: menggenjot sisi pasokan perumahan, mengintervensi sisi permintaan agar lebih positif serta menurunkan suku bunga kredit rumah. Dengan begitu pada akhirnya dapat mendongkrak daya beli masyarakat.
Dari skema FLPP ini, dibentuk lembaga keuangan yang kredibel, yang bisa mengumpulkan dan mengemas surat – surat tagihan KPR (termasuk resiko yang berkait) menjadi aset (surat – surat berharga) yang kemudian bisa dijual ke pasar modal. Dengan demikian, pendanaan tidak lagi berasal dari bunga perumahan dan deposito. (Kusno, 2012)
(Baca juga : Gejolak Ekonomi Di Ambang Pintu ? Menggali Peluang)
Dinyatakan bahwa MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) menjadi kelompok sasaran dari model FLPP. Dalam sebuah sistem ekonomi yang kian terhubung, lintas negara, global – lokal. Ini merupakan sebuah pendekatan baru yang mengikutsertakan MBR sebagai bagian tak terpisahkan dari siklus perputaran kapital global.
Pembiayaan perumahan rakyat selama ini identik dengan beban pengeluaran pemerintah. FLPP berupaya membalik stigma ini. Dari yang semula faktor dominannya adalah subsisidi pemerintah, saat ini kekuatan pasarlah yang menjadi panglimanya. Dus, ranah perumahaan bagi MBR bisa dipandang sebagai aset yang menguntungkan, bukan lagi semata liabilitas negara dalam memenuhi komitmen perumahan rakyat.
Pemerintah mengklaim FLPP adalah terobosan baru. Jalan keluar dari jebakan defisit anggaran akibat belanja penyediaan perumahan rakyat. Dengan penyaluran FLPP, berarti berakhir juga era subsidi perumahan oleh pemerintah. Harapannya dalam 10 tahun ke depan pemerintah tidak lagi mengalokasikan perumahan dalam postur anggaran belanja negaranya. Sebagai gantinya digunakan surat – surat KPR tadi yang dijual ke investor pasar modal sebagai “mortgage backed securities.”
‘Marketabiliy asset’ pun menjadi kuncinya. Bagaimana membangun good governance agar bisa menjadi aset yang marketable di pasar modal didukung oleh kalkulasi resiko yang matang. Untuk itu sertifikasi tanah menjadi salah satu komponen vitalnya, menjadi salah satu prasyarat penting agar bisa padu dengan proses sekuritisasi.
Saat ini penyaluran FLPP dilakukan oleh Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) yang merupakan Badan Layanan Usaha (BLU) di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sebetulnya mulai digulirkan di tahun 2010, oleh pemerintahan SBY dengan anggaran Rp 2,683 triliun. Di lapangan implementasi FLPP nyatanya masih banyak menemui kendala. Data dari Dirjen Pembiayaan Perumahan, sampai Mei 2017, penyaluran FLPP baru mencapai 3849 unit atau senilai Rp439 miliar (Kontan, 2017). Padahal target yang sudah dicanangkan sejumlah 120.000 unit dengan nilai Rp 9,7 triliun. Disebutkan ada sejumlah bank yang kesulitan untuk mencapai target penyaluran FLPP
Sisi Plus dan Minus
Mari kita bahas lebih mendalam dua sisi dari program FLPP ini. Disebutkan bahwa semangat FLPP adalah membuat terobosan dalam pembiayaan perumahaan rakyat. Inilah untuk pertama kalinya pendanaan perumahan rakyat bukan lagi jadi beban pemerintah. Paling tidak begitu harapan idealnya. Bagaimana menemukan jalan keluar dari potensi pasar modal yang selama ini tidak tergarap, untuk bisa memberi energi baru percepatan pembangunan perumahan rakyat.
FLPP diharapkan jadi upaya keluar dari jebakan egoisme sektoral. Sekaligus memberikan jawaban terhadap kebutuhan pembiayaan perumahaan lintas stakeholder : pemerintah sebagai regulator, pelaku pembangunan, masyarakat konsumen serta pelaku pasar modal, dalam sebuah model sinergi, sebuah irama kerja yang padu sekaligus produktif. Ini diharapkan bisa membangun penataaan kolaboratif yang manfaatnya bisa dipetik berjangka panjang.
Sementara di sisi lain, dalam hal pembiayaan perumahaan model FLPP, tentunya berlaku seleksi surat hutang KPR yang akan dijual di pasar modal. Hanya aset – aset berharga yang bisa masuk bursa pasar modal, termasuk dalam hal ini, hanya aset tanah yang bersertifikat, untuk kemudian bisa digunakan sebagai jaminan Bank.
Sudah barang tentu tidak semua calon pembeli rumah bisa menjadi aset, tidak semua bisa masuk kriteria sekuritas. Tidak semua dipandang menguntungkan. Dari sisi pengelolaan resiko, sekuritisasi perlu jaminan bahwa peminjam kredit mampu membayar kredit yang dipinjam. Bahwa mereka masuk kategori aset yang ‘berkualitas’. Demi menjaga nilai NPL<5% (bank sehat). Selain itu mesti lulus syarat administratif: penghasilan tetap, punya NPWP dan surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). FLPP mensyaratkan penghasilan tetap diatas 2,5 juta per bulan untuk bisa mengangsur rumah tapak. Dan minimal 4,5 juta untuk rumah susun. Ini dilakukan untuk memastikan penerima program FLPP adalah benar MBR, dan si penerima benar menghuni rumah tersebut,tidak kemudian hanya dijadikan alat investasi dan spekulasi tanah.
(Baca juga : Pembangunan Rumah Rakyat dan Permukiman yang Berpusat pada Masyarakat : Berkolaborasi menjadi Merakyat )
Dengan kriteria sedemikian. Kita coba berkaca pada kenyataan. Lansekap perumahan di Indonesia ternyata didominasi oleh pembangunan rumah informal : lingkungan hunian informal diatas tanah yang tidak legal, peminjaman informal, dengan skema pembayaran kredit tak tetap. Proses pembangunan rumah yang sepenuhnya swadaya. Yang dominan bukanlah model pasar perumahan swasta dengan kredit formal, berdiri diatas tanah bersertifikat, yang notabene hanya mencakup 20% dari keseluruhan pembangunan rumah.
Sejalan dengan itu, kebanyakan pekerja di Indonesia masih masuk kategori informal. Mereka tidak punya penghasilan tetap: satpam, pekerja konstruksi, pedagang keliling dan kakilima, pedagang kelontong, ojek online, dan dropshipper online misalnya. Data menyebut, di banyak kota di Indonesia kelompok masyarakat ini mencapai 70 persen dari populasi. Disebutkan pula, ada 60-70% kelompok masyarakat di Indonesia yang penghasilannya kurang dari 1 juta Rupiah per bulan (Sasono 2012 seperti dikutip Kompas.com)
Kelompok masyarakat ini sulit dikonfirmasi identitasnya. Tak mudah dilacak secara akurat penghasilannya. Inilah masalahnya. Calon pembeli yang kebanyakan ada di kelompok ini, justru tidak masuk kriteria pembiyaan rumah FLPP. Mereka dianggap tidak “cukup sehat untuk portofolio aset KPR di pasar uang.” (Kusno, 2012). Hak rumah di Indonesia yang sudah dinyatakan sebagai hak asasi, melalui skema FLPP ini ternyata tetap tergantung pada kriteria aset pasar modal. Skema FLPP , sayangnya, tidak mengakomodasi karakter masyarakat berpenghasilan rendah – tidak tetap. Program FLPP tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan bahwa pasar pekerja didominasi oleh status informal. Kemenkeu sendiri mengakui bahwa “MBR yang berasal dari sektor informal masih banyak yang belum mendapatkan akses kredit FLPP” (Kemenkeu, 2018).
Disebut sebagai alternatif sumber pembiayaan perumahan yang solutif, kita tetap perlu cermati dua sisinya. Perlu dipertimbangkan dengan matang konsekuensi dari diformalkannya pelaku usaha informal . Ini bisa membuat pelaku usaha informal semakin ‘tergencet’, justru membuat mereka tersingkir, makin jauh akses nya dari sumber mata pencaharian mereka selama ini.
Yang terjadi kemudian, pekerja informal dan kelompok rumah rumah tangga berpenghasilan tak tetap ini bukan saja dilepas, tempat tinggal mereka selama ini juga terancam digeser, disebabkan status tanah yang tidak memenuhi legalitas – artinya tidak tercatat BPN . Ada banyak cerita, pemukim di tanah berstatus informal digusur sebagai konsekuensi program sertifikasi tanah yang masif dan berskala kota. Bukan saja minim akses ke air bersih dan sanitasi, warga di area informal juga terus dibayangi ketakutan akan digusur. Dalam hal ini FLPP belum berfungsi sepenuhnya sebagai anak tangga pertama MBR untuk memperbaiki kondisi hunian dan kualitas hidup mereka.
- Romi Romadhoni, MDP
He is an urban planner and sociopreneur, and can be reached at m.romadhoni@gmail.com
Referensi :
Kementerian Keuangan-PPDPP (2018), Dikutip pada 10 November 2018, http://ppdpp.id/ppdpp-tingkatkan-monitoring-dan-evaluasi-rumah-kpr-flpp/ ; “PPDPP Tingkatkan Monitoring dan Evaluasi Rumah KPR FLPP”
Kontan (2018) , Dikutip pada 13 November 2018. https://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-menggenjot-pembiayaan-perumahan,” Pemerintah menggenjot pembiayaan perumahan.”
Kusno, Abidin (2012) , “Politik Ekonomi Perumahan Rakyat dan Utopia Jakarta,” Yogyakarta : Penerbit Ombak