Perumahan yang menjawab kebutuhan ruang dan hidup kaum millennials
The reason why millennials are inspiring is
what they give: the music they give – Luis Coronel
Generasi milenial diartikan sebagai generasi yang lahir antara tahun 1980-an hingga awal tahun 2000-an. Generasi ini merupakan kelompok populasi dengan jumlah amat besar, yang mencakup hampir 30 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang tersebar di berbagai kelas sosial, di bermacam konteks budaya.
Jumlah penduduk yang terus meningkat, sayangnya tak cukup diimbagi dengan pengembangan lingkungan terbangun perumahan. Kekurangan pasokan rumah dengan target kelompok millennials masih menjadi masalah yang belum menemukan solusi jitunya. Data Kementerian Pupera menyebutkan diestimasi ada sebanyak 81 juta millennials di Indonesia yang belum memiliki rumah hunian.
Penyediaan rumah Millennials. Apa artinya?
Hal ini menjadi masalah sekaligus peluang dalam mengembangkan pasar perumahan bagi kelompok millennials. Laju kenaikan harga rumah yang begitu tinggi saat ini, tidak terkejar oleh tingkat pendapatan kelompok milenial secara umum. Masalah ini tentunya tidak bisa begitu saja dibebankan pada kelompok masyarakat ini . Sebuah pekerjaan rumah besar bagi banyak pemangku kepentingan di bidang perumahan, yang menuntut solusi inovatif yang tidak biasa. Sebuah unboxed thinking.
Secara umum preferensi rumah millennials akan kebutuhan perumahan, cenderung pada model hunian vertikal, dengan lokasi di dekat pusat kota, yang memilki aksesibilitas bagus dan dekat dengan simpul transportasi massal. Serta didukung pula dengan kemudahan akses internet.
(Baca juga: Memaknai Ruang Kota)
Permasalahan yang dihadapi millennials dalam hal pengajuan KPR rumah umumnya terkait sisi pembiayaan, yakni penyediaan Down Payment (DP), yang biasanya berkisar 20-30% dari harga rumah. Ada banyak kaum millennials yang mengaku menemui jalan buntu, lantaran tidak sanggup menyediakan dana besar di awal pembelian rumah. Bisa jadi ini juga disebabkan oleh tidak tepatnya prioritas pengeluaran yang dilakukan oleh mereka. Manajemen keuangan pribadi yang masih lemah. Di sisi lain, berbelitnya proses pengajuan kredit rumah juga menjadi kendala tambahan.
Upaya Yang Bisa Dilakukan : Moving Forward
Investasi properti yang bagus berarti ketepatan dan manfaat yang bagus pula. Ini juga bisa dilakukan menggunakan skema KPR. Ada beberapa keuntungan mengambil KPR sejak dini, sejak usia muda. Ke depan harga rumah jelas semakin mahal, jika KPR diambil sekarang, maka angsuran bulanan pun menjadi rendah. Semakin muda seseorang mengambil KPR, selain berkesempatan memperoleh biaya asuransi yang rendah, juga punya kesempatan memperoleh KPR dengan jangka waktu yang lebih panjang, bisa sampai 20-25 tahun. A good investment. Selain itu juga masa muda adalah masa produktif, tenaga masih kuat dan pikiran masih jernih untuk mencari penghasilan non- rutin di luar kantoran. Sepanjang penghasilan tersebut halal tentunya .
Dalam hal mendorong sisi pasokan properti, belakangan ini kalangan perbankan pun banyak meluncurkan program KPR yang ramah milenial. Produk KPR dengan DP dan bunga ringan. Selain itu biaya proses pengajuannya pun dibuat lebih terjangkau. Termasuk ada diskon provisi dan bebas biaya administrasi. Pengajuan aplikasi kreditnya juga juga dibuat online sehingga paperless, tidak ada birokrasi berbelit dan karenanya menjadi lebih mudah.
(Baca Lengkapnya : Kebijakan Perumahan : Haluan Baru Menjawab Tantangan)
Kebijakan memfasilitasi skema KPR bagi kelompok milenial ini berangkat dari asumsi bahwa target utama ini masuk usia produktif yang sudah mempunyai pekerjaan dan penghasilan.
Yang perlu juga dicermati ialah fenomena penunggangan kelas, seperti yang pernah terjadi sebelumnya pada implementasi kebijakan hunian vertikal ‘1000 menara’ di Jakarta. Dimana merupakan strategi pengembang untuk memperoleh lahan strategis di tengah kota atas nama ‘perumahan rakyat’. Yang kemudian disiapkan menjemput kesempatan untuk bisa beralih ke kelas menengah. Begitu pun halnya, atas nama pemerataan akses rumah millennials, namun momentumnya ditunggangi ‘profit taking’ sepihak.
Dalam hal penyediaan rumah bagi kelompok millennials perlu juga disadari bahwa rumah bukan semata fenomena fisik (shelter), namun juga terikat dengan elemen sosial dan kultural. Justru di era global ini, bentuk kota termasuk rancang bangun perumahan perlu lebih memperhatikan dimensi sosiokultural. Tentang bagaimana merawat jatidiri yang otentik, melestarikan identitas unik masing – masing.
Menjawab kebutuhan rumah millennials sebenarnya merupakan bagian dari ruang kota sebagai karya seni sosial. Yang bukan tempat bagi model – model penyeragaman yang justru melemahkan karakter kota. Perlu bergeser pada produk properti yang juga kaya makna, yang turut memberikan pengalaman yang berbeda, yang lebih vibrant. Sebab bentuk dan ukuran rumah yang dihasilkan akan turut membentuk perilaku dan kehidupan sehari – hari, yang bisa secara perlahan namun dramatis mengubah lingkungan warga millennials yang menghuninya.
- Romi Romadhoni, MDP
He is an urban planner and sociopreneur, and can be reached at m.romadhoni@gmail.com and twitter : @romi_mr