Berpikir Sistem : Sekelumit Perumahan Rakyat
Spektrum Masalah Perumahan Rakyat
The accumulation of capital and misery go hand in hand, concentrated in space.
-David Harvey
Angka backlog yang masih tinggi, hasil pembangunan rumah yang jauh dari target, isu rumah terjangkau dan akses nya bagi kelompok keluarga tidak mampu serta pola pembangunan yang pengembang-sentris. Ditambah lagi pembiayaan perumahan yang belum berpihak ke kelompok penghasilan rendah (MBR). Ini hanya sejumput masalah perumahan rakyat. Sebagaimana diulas Abidin Kusno, dalam 30 tahun terakhir Indonesia telah menjalankan kebijakan ekonomi pasar bebas. Idealnya pemerintah mampu memobilisasi manfaat kekuatan pasar dan kapital untuk memenuhi kebutuhan perumahan rakyat. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kebijakan perumahan rakyat justru dimanfaatkan oleh kekuatan pasar demi kapital.
Beberapa faktor ditenggarai membuat masalah perumahan rakyat tak kunjung membaik, berputar dari satu masalah ke masalah lainnya. Gamblangnya tarik menarik kepentingan antara pengembang, pemerintah daerah dan pemerintah pusat, yang tanpa ada resolusi konflik. Akibat lemahnya integrasi dan koordinasi. Tidak sinkronnya kebijakan dan kontradiksi pendekatan pembangunan yang pada akhirnya merugikan masyarakat luas sebagai penggunanya. Kebijakan perumahan yang ditancapkan cenderung menjadi alat spekulasi ketimbang alat untuk memajukan kesejahteraan umum. Agenda pembangunan rumah dominannya menjadi komoditi bagi akumulasi kapital, bagi penumpukan modal .
Potret masalah tampak pada kebijakan Rumah Susun yang masif diwacanakan di pertengahan 2007. Kebijakan ini digadang oleh pemerintah sebagai kebijakan perumahan pro-rakyat di kawasan perkotaan. Terlepas dari tepat sasaran atau tidaknya, dan klop atau tidaknya dengan karakter sosio-ekonomi MBR. Kaitannya dengan proyek rumah susun (Pulo Gebang, Kelapa Gading, Kalibata dan Kemayoran) misalnya. Wakil Presiden saat itu Jusuf Kalla turun ke lapangan meninjau langsung pembangunan. Saat meninjau proyek rusun di Kemayoran, seperti diberitakan harian Kompas (15 Maret 2008) ia sempat menegur Gubernur DKI Jakarta saat itu , Fauzi Bowo, atas keterlambatan pelaksanaan proyak yang telah diputuskan. Menpera Yusuf Asy’ari pun tak luput dari sindirannya “Bapak (Menteri ) harus mengontrol dua hari sekali. Jangan datang kalau hanya diundang persemian kondominium. Bapak itu Menteri Negara Perumahan Rakyat, bukan Menteri Negara Perumahan elit”, ingat Pak JK.
Berpikir Sistem vs Berpikir Analisis Sepenggal
Permasalahan perumahan rakyat begitu kompleks dan multidimensional. Mutlak diperlukan cara yang berbeda untuk memahami persoalan. Ranah perumahan rakyat memiliki karakter keterhubungan yang kompleks antar stakeholder nya , juga interaksi antar elemen utamanya yang dinamis dan saling bergantung . Perlu mapankan pola pikir yang cocok. Ia tidak bisa dipagari di satu aspek saja, misal sisi supply side. Ini tidak hanya tentang bagaimana bisnis properti bisa langgeng sebagai primadona investasi, sebagai alat untuk mengamankan wealth pemodal dengan yield yang bagus bagi para investor dan memfasilitasi akumulasi modal.
Tambahan lagi, perumahan merupakan rangkaian proses berkait yang saling berkelindan. Rumah lebih dari sekedar produk, yang fokus kebijakannya memproduksi rumah sebanyak mungkin demi mengatasi backlog: sebuah pendekatan in-width . Rumah tidak bisa dilihat semata output proses produksi. Yang kondisinya terisolasi dari relasi sosial, dari konteks sejarah dan budayanya. Kenyataannya lebih dari itu. Melampai kontruksi bata dan semen, rumah juga berfungsi mendongkrak ekonomi keluarga. Disana terletak kepentingan mengembangkan social labour atau pekerja sosial. Untuk bisa menjadi alat pendorong kesejahteraan.
(Baca juga : Saat Satu Pintu Menutup, Pintu Lainnya Membuka : Menyiasati Gejolak Perlambatan Ekonomi)
Sudut pandang yang saat ini sudah jadi ‘konvensional’: mengambil satu bagian elemen perumahan rakyart. Untuk kemudian dipecah – pecah, bagian – per bagian tersebut dianalisis lebih mendalam. Setelah dapat pemahaman per bagiannya , kemudian di sequence fungsinya, diamati aliran logis nya untuk melihat bagaimana ia bekerja sebagai sebuah sistem. Cara berpikir dengan melihat sepengal dari keseluruhan yang utuh ini, sayangnya tidak bisa membawa kita pada tujuan perumahan rakyat yang diharapkan. Model ini yang dikenal dengan model berpikir analisis reduksionisme – Penjumlahan dari bagian – bagiannya ini – pada dasarnya tidak sejalan dengan kebutuhan memahami pola keseluruhanya secara koheren dan utuh. Solusi yang langgeng, yang jitu, efektif dan berdampak luas tidak bisa didapat dengan menggarap parsial sedemikian.
Isu pengembangan rumah bagi MBR misalnya, jelas bukan bangunan utama dalam kebijakan perumahan saat ini. Bahkan di tengah tren pembangunan partisipatif dan self-reliance, model ini hanya menjadi lapis ketiga bahkan keempat, sebuah serep dari keseluruhan ranah perumahan rakyat. Sementara yang menjadi arus utama adalah pandangan rumah sebagai komoditi. Rumah sebagai kendaraan spekulatif, yang selama ini dipedomani oleh kelompok korporasi pemodal besar. Terjadi kontradiksi di lapangan, nyatanya di kota – kota besar di Indonesia, 70% rumah dibangun dengan model self-help, menggunakan tenaga kerja lokal , meski kualitas bangunannya tidak berstandar tinggi bahkan dibawah standar.
Model berpikir sistem dipandang bisa memahami persoalan, dus memberikan solusi. Model ini tentang berpikir holistik. Bagaimana berpikir untuk solusi yang klop dengan keseluruhan sistem yang saling terhubung. A connected whole. Hal ini sejalan dengan kealamiahan persoalan perumahan, saat berbagai elemen dasarnya saling berkelindan, saling mempengaruhi. ‘The pattern which connects’ dan aktivitas ketergantungan.
Model berpikir sistem juga berarti kontekstual, bagaimana menempatkan kinerja perumahan rakyat pada konteks keseluruhan. Hal ini penting untuk bisa merespons pola wirearchy , yang berkarakter amat dinamis, fleksibel dan cair, multipolar. Karakter ini mengantikan pola lama hirarki yang terstruktur, kaku dan serba paralel.
Model berpikir ini juga menguntungkan sebab membuat horison kita lebih luas, membantu lepas dari egoisme sektoral . Ini berguna untuk mengatasi sindrom ‘jika hanya palu yang kita punya, kita cenderung lihat semua masalah sebagai paku.”
Jalani Pengetahuan
Berpikir sistem akan menguatkan kapasitas kolaborasi bagi inovasi, di tengah jejaring inisiatif dan permasalahan perumahan demikian kompleks. Sisi positifnya, ia memberi banyak peluang pembelajaran yang tidak paralel, dan sebaliknya tidak menyediakan ruang bagi ‘one man show’. Ini tentang bagaimana mengambil kesempatan di tengah pola super fluid, di tengah iklim usaha dan kerja perumahan rakyat yang berpusat pada user. Yang berarti berpusat pada khalayak. Pendekatan demikian mendorong kebijakan perumahan yang berpihak pada sebagian besar populasi, membantu membuatnya menjadi alat memajukan kesejahteraan umum.
Tantangannya kemudian bagaimana pendekatan yang kreatif , yang memberdayakan dan berempati ini dapat diupayakan pada tingkatan sistem, sehinga bisa scaling up, bisa berskala luas. Bukan inistiaf yang sendiri – sendiri yang sporadis dan ‘fragmented’.
(Baca juga : Perumahan Rakyat : Menghidupkan Kembali Mimpi Lama)
Berpikir sistem ialah berpikir utuh tentang konstelasi dan mendorongnya ke arah lebih baik. Kolaborasi dalam perumahan rakyat berarti kerja – kerja perumahan rakyat dilakukan secara lintas disiplin, lintas sektor dan lintas industri yang bergerak ke arah perbaikan kontinyu.
Berpikir sistem untuk kolaborasi yang didukung kapasitas memadai pada akhirnya mendorong, tidak saja pelaku pembangunan tapi juga pemangku kepentingan yang proaktif. Untuk bisa menjadi agent of social change, yang mampu merubah pola lama dan usang. Bagimana mengembalikan titik beratnya pada nilai guna perumahan sebagai perlindungan banyak rumah tangga, basis keluarga, ruang tempat membesarkan anak, sebagai ajang pendidikan yang dini sekaligus utama. Sebab key driver yang selama ini dominan, yang berpusat pada pengembang, pendekatan yang berorientasi pada akumulasi kapital, nyatanya justru mendorong backlog semakin besar,mendesak ke arah jalan buntu ketimpangan penyediaan perumahan. Masyarakat umum semakin sulit mengakses rumah pertamanya. Model sebelumya : pasar bebas produksi rumah yang selama ini dinyakini faktanya tidak bekerja.
- Romi Romadhoni, MDP
He is an urban planner and sociopreneur, and can be reached at m.romadhoni@gmail.com and twitter : @romi_mr