Perumahan Rakyat : Menghidupkan Kembali Mimpi Lama
Bayangkan 3 miliar orang yang hidup hanya dengan beberapa dollar per harinya. Grameen Bank hadir menjadi solusi. Pada 1983, di Bangladesh, Grameen Bank mulai menawarkan pinjaman mikro tanpa mensyaratkan jaminan. Model ini terbukti memecahkan masalah yang telah terbengkalai berpuluh tahun: kekurangan akses ke modal, yang menyebabkan lingkaran setan kemiskinan tak berujung. Berjalannya model ala Grameen ini membuka kemungkinan bagi kelompok masyarakat tak mampu untuk membuka usaha : lapak di depan pintu umahnya, menggelar kios di pasar, menanam varietas baru bercocok tanam. Membuat mereka bisa menambah penghasilan sambil membayar hutang kecil.
Saat beberapa orang mungkin keberatan dengan gagasan penghancuran kreatif (creative disruption) – sebuah istilah nyentrik yang diciptakan oleh ekonom Austria Joseph Schumpeter. Gejala disrupsi makin meluas. Ini tentang penciptaan pasar baru yang bergantung pada penghancuran pasar yang lama. Gojek yang mendisrupsi ojek pangkalan contohnya.
Sebuah terobosan out of the box dari Grameen Bank. Dan ini bukan disrupsi. Bagaimana menciptakan pasar baru keuangan mikro (micro finance), tanpa menggantikan pasar lain, tanpa membuat ambruk yang berjalan sebelumnya. Sebelum era Grameen bank , bank-bank konvensional acapkali mengabaikan kelompok miskin sebab dianggap tak layak, tidak punya kapasitas untuk mengelola uang pinjaman. Anggapan yang belakangan terbukti salah. Meskipun bank konvensional masih terus berkembang dengan jalurnya sendiri, industri keuangan mikro telah berkembang menjadi industri bernilai miliaran dollar dengan begitu banyak peluang yang masih bisa digali. Sebuah pelajaran yang menginspirasi dari Grameen Bank.
(Baca juga : Lokasi Rumah : Cara Pintar Memilih Hunian yang Tepat )
Menanti Babak Baru Perumahan Rakyat
Sebuah mimpi yang selalu berharga untuk dihidupkan kembali. “Perumahan untuk Semua”. Lantang disuarakan Bung Hatta saat Kongres Perumahan Rakyat II pada Agustus 1959. “ …Dalam 40 tahun atau setengah abad pasti dapat dicapai, apabila kita sungguh sungguh mau dan berusaha dengan penuh kepercayaan.” Begitu optimisme seorang Hatta bagi terpenuhinya kebutuhan perumahan bagi seluruh rakyat.
Dengan kekurangan jumlah (backlog) rumah saat ini mencapai 15 juta unit . Dan terus bertambah 800.000 tiap tahunnya. Sedangkan dari sisi pasokan oleh pemerintah dan pengembang swasta hanya ada di kisaran 200.000 unit. Diestimasi kebutuhan ini baru bisa diatasi 75 tahun lagi. Gap yang tak kunjung teratasi.
Perumahan bukan semata pemenuhan hak huni, tapi sudah manjadi bagian koheren dari pemenuhan hak asasi manusia. Dampak dari tak terpenuhinya kebutuhan rumah yang layak jauh melampaui lingkup keluarga. Agenda perumahan rakyat yang terbengkalai menjadi ancaman bagi lingkungan dan masyarakat secara keseluruhan: angka kriminalitas melonjak, permasalahan lingkungan dan kemandekan sosial, sampai ancaman ‘generasi yang hilang’.
(Baca juga : Jual Beli Properti dan Pasar Properti : Propelling Its Engine )
Di sisi lain, perumahan yang sudah terbangun saat ini banyak terjebak di mantra ‘serba pusat’. Berlomba – lomba tumbuh di pusat kota, pusat bisnis. Mencengkeram kuat teritori di pusat ekonomi. Orientasi ‘centre mania’ bak kacamata kuda , yang pada memperparah kesenjangan, baik secara ruang geografi maupun antar kelompok masyarakat. Menggerus arti penting hunian yang lestari.
Tak sekedar lembar kalender baru. Ini tentang mendefinisi ulang peluang baru pembangunan perumahan. Peluang baru itu adalah pembanguan perumahan untuk lebih menebarkan nilai tambah, mendorong akses yang lebih luas lagi bagi masyarakat banyak, terutama bagi kelompok masyarakat yang selama ini luput dari perhatian. Bukan sekedar tetesan ke bawah bagi sedikit orang. Sebuah efek bola salju yang diharapkan ikut memobilisasi sumberdaya perumahan, turut menggulirkan ekonomi jadi lebih bergairah.
Inisiatif bukannya tidak pernah dilakukan, Program Sejuta Rumah yang sebelumnya dicanangkan di 2015. Program ini didesain untuk mengatasi kekurangan pasokan rumah rakyat. Sayangnya, di lapangan, yang terjadi salah kelompok sasaran. Luput dalam menata ruang sosial, minim juga fungsinya dalam mendukung kegiatan ekonomi warganya. Sepertinya mirip kisahnya dengan program sebelumnya : program 1000 tower yang diluncurkan wapres saat itu, Jusuf Kalla. Program ini pada akhirnya lebih banyak digunakan sebagai instrumen investasi konsumen. Lebih dominan sebagai obyek spekulasi pengembang swasta bagi kepentingannya mengamankan aset bank tanah nya.
Perumahan Rakyat : Membuka Pintu Solusi
Selalu ada langkah pertama bagi perbaikan. Apa yang sebelumnya, 10 – 15 tahun lalu – dirasa sulit diwujudkan : larangan merokok di tempat umum, naik bus umum yang nyaman, rutinitas bersepeda ke keantor misalnya. Sekarang ini sudah biasa ditemui sehari – hari.
Tantangan terbesar nya adalah melakukan campur tangan positif oleh pengambil kebijakan tentang “rumah untuk semua”. Pembangunan hunian yang inklusif. Yang nyata terjaga keberpihakannya bagi masyarakat kelompok ekonomi terbawah. Model perumahan dengan produk yang tidak saja terjangkau, namun proses pembangunannya ‘enabling’. Yang menarik gerbong solusi bagi perumahan rakyat : turut mendorong ekonomi rumah tangga mereka, meggunakan material dan tenaga kerja lokal, dus ikut menggerakkan perekonomian lokal . Perumahan yang menjadi bagian dari solusi tata ruang dan mendorong kemajuan sosial.
Pembangunan perumahan dengan lebih banyak pusat pengembangan, dan tidak melulu di pusat kota besar, baiknya lebih serius dilakukan. Dengan demikian, selain lebih terjangkau harganya, menjangkau lebih banyak kelompok masyarakat, juga lebih bisa memunculkan aneka ragam model perumahan, di berbagai pelosok nusantara. Dengan berbagai keunikan produk dan pendekatan pembangunannya.
Tiga ‘E’
Prinsip “tiga E” bisa dijadikan acuan dalam merealisasikan program pembangunan rumah rakyat: equity, empowerment dan engangement. Equity mengingatkan pentingnya kesetaraan atau pemerataan aset dan akses pembangunan perumahan. Agar produknya terjangkau , klop dengan kebutuhan dan delivery bisa berkeadilan sekaligus berpihak ke kelompok miskin, baik secara geografis maupun demografis.
Empowerment tentang menjadi berdaya. Tidak saja mentargetkan aparat birokrasi tapi juga golongan masyarakat biasa. Warga masyarakat sebagai kelompok sasaran bukan semata konsumen, namun juga pelaku aktif pembangunan. Orientasi nya juga pada proses, sehingga alokasi sumberdaya perumahan lebih merata.
Yang juga penting adalah, Engangement. Produk dan delivery perumahan tidak melulu tentang selera pelaku pembangunan. Namun ada pelibatan masyarakat yang otentik, yang peka tidak saja pada kebutuhan ekonomi spesifik mereka, namun juga kebutuhan sosial serta perilaku kolektif sehari – hari mereka.
Tomorrow is the first blank page of a 365 page book. Write a good one” ~ Brad Paisley.
Perumahan rakyat. Sebuah agenda bersama, peluang membangun kolaborasi bersama.
- by Romi Romadhoni, MDP
An urban planner and sociopreneur. Bisa dikontak via m.romadhoni@gmail.com
Referensi :
Kim, W.Chan, & Renee Mauborgne. 2017.” Blue Ocean Shift. Pergeseran Samudra Biru Melampaui Persaingan. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Budihardjo, Eko. 2014.”Reformasi Perkotaan. Mencegah Wilayah Urban menjadi Human Zoo.Jakarta. Kompas Media Nusantara